Cinta.
Sesungguhnya
gue ga ngerti sama masalah beginian. Tapi sepertinya sedang ngehitz sekali
membicarakan tentang ini. Gue bahkan udah lupa rasanya seneng karena “cinta”?
eh, lupa? Emangnya gue pernah ngerasain? Sepertinya pernah sekali, lalu
dikecewakan dan gue ngerasa sangat sangat hampa mungkin. Ga sih, mati rasa
lebih tepatnya.
Kalo ditanya
udah move on, ya udah kok. Walau prosesnya lama, tapi ya sudahlah gue sudah
legowo, gue juga udah ngerasa merdeka dari itu semua. Walau gue ga punya pacar,
bukan berarti gue belom move on ya. Oke gue tegaskan sekali lagi kalo gue sudah
move on. Seriously.
Jangan dikira
kalo gue ga sempet membuka hati ke orang lain. Gue selalu melakukannya. Tapi
gue selalu melakukan dengan cara yang salah. Ketika gue sedang mengumpulkan
serpihan-serpihan hati gue, lalu ada orang yang datang, gue selalu berusaha
menyukai orang tersebut. Padahal gue tau, hati gue aja belom kekumpul, gimana
gue bisa seutuhnya menyukai orang tersebut dengan hati yang bisa dibilang ga
ada itu? Setiap ada orang yang datang, gue terlalu menggebu, padahal fondasi
hati gue masih ringkih dan rapuh, belum siap untuk memulai. Dan dengan hati
yang lemah itu gue mencoba menaruh harapan. Dan voila. They’re gone. Lah aku
kudu piye ketika serpihan hati itu kembali tercerai burai?
Sekarang gue
sedang mencoba mengumpulkannya -serpihan hati yang tercerai burai itu-. Satu per
satu. Sedikit demi sedikit. Tanpa mempedulikan siapa yang datang. Tanpa
berharap. Semuanya hanya teman,
begitu selalu gue mengingatkan diri gue sendiri. Dalam hal ini gue mencoba
pesimis, supaya gue mampu menghentikan harapan yang tidak boleh berkembang itu.
“Ketika kamu mencoba melangkah ke dalam hidupku,
aku bukannya tidak mempersilakan kamu masuk. Aku hanya mencoba mengumpulkan
serpihan-serpihan hati aku dan membangunnya menjadi hati yang utuh, sehingga
aku mampu mencintai kamu seutuhnya, sebagai suamiku. Biarkan aku berusaha
menyiapkan diriku yang terbaik untukmu yang terakhir, ya? :3”
Auk deh
siapa suaminya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar