Minggu, 30 November 2014

Save The Best For The Last

Cinta.

Sesungguhnya gue ga ngerti sama masalah beginian. Tapi sepertinya sedang ngehitz sekali membicarakan tentang ini. Gue bahkan udah lupa rasanya seneng karena “cinta”? eh, lupa? Emangnya gue pernah ngerasain? Sepertinya pernah sekali, lalu dikecewakan dan gue ngerasa sangat sangat hampa mungkin. Ga sih, mati rasa lebih tepatnya.

Kalo ditanya udah move on, ya udah kok. Walau prosesnya lama, tapi ya sudahlah gue sudah legowo, gue juga udah ngerasa merdeka dari itu semua. Walau gue ga punya pacar, bukan berarti gue belom move on ya. Oke gue tegaskan sekali lagi kalo gue sudah move on. Seriously.

Jangan dikira kalo gue ga sempet membuka hati ke orang lain. Gue selalu melakukannya. Tapi gue selalu melakukan dengan cara yang salah. Ketika gue sedang mengumpulkan serpihan-serpihan hati gue, lalu ada orang yang datang, gue selalu berusaha menyukai orang tersebut. Padahal gue tau, hati gue aja belom kekumpul, gimana gue bisa seutuhnya menyukai orang tersebut dengan hati yang bisa dibilang ga ada itu? Setiap ada orang yang datang, gue terlalu menggebu, padahal fondasi hati gue masih ringkih dan rapuh, belum siap untuk memulai. Dan dengan hati yang lemah itu gue mencoba menaruh harapan. Dan voila. They’re gone. Lah aku kudu piye ketika serpihan hati itu kembali tercerai burai?

Sekarang gue sedang mencoba mengumpulkannya -serpihan hati yang tercerai burai itu-. Satu per satu. Sedikit demi sedikit. Tanpa mempedulikan siapa yang datang. Tanpa berharap. Semuanya hanya teman, begitu selalu gue mengingatkan diri gue sendiri. Dalam hal ini gue mencoba pesimis, supaya gue mampu menghentikan harapan yang tidak boleh berkembang itu.

“Ketika kamu mencoba melangkah ke dalam hidupku, aku bukannya tidak mempersilakan kamu masuk. Aku hanya mencoba mengumpulkan serpihan-serpihan hati aku dan membangunnya menjadi hati yang utuh, sehingga aku mampu mencintai kamu seutuhnya, sebagai suamiku. Biarkan aku berusaha menyiapkan diriku yang terbaik untukmu yang terakhir, ya? :3”


Auk deh siapa suaminya.

Selasa, 25 November 2014

Dimensi Perasaan

-ini merupakan sebuah rangkuman dari liqo saya bersama Andi, Muhai, Raka, dengan mentor Imam. Di suatu pagi menjelang siang. Bertempat di gerbong (entah gerbong berapa) kereta Bogor-Jakarta Kota-

Perasaan. Satu kata yang mampu mengekspresikan bagaimana kondisi kita, bukan kondisi dalam konteks hal fisik, melainkan dalam konteks kejiwaan, emosional kita.  Menurut Yogaswara (2014), perasaan merupakan suatu kondisi emosi yang terbagi menjadi dua dimensi, yaitu dimensi rasa dan dimensi logika. Karena sudah dibagi menjadi dua dimensi, tentu saja terdapat perbedaan di antara kedua dimensi tersebut.
           
Pernah ga kalian ngelakuin hal over atau berlebihan pada saat suasana hati kalian dalam tingkat “yang sangat-sangat”?? yang bahkan kalian pun ga sadar kenapa bisa sampe kaya gitu, kenapa bisa begitu, kenapa oh kenapa.

Pernah ga kalian merasakan pada suatu waktu kalian lebih bersemangat dari biasanya? Seperti yang biasanya kalian males banget kuliah pagi namun semenjak ada “seseorang” yang “mengisi” hidup dan kekosongan hati kalian, kalian jadi semangaaaat banget kuliah pagi. Bukan hanya itu, kalian pun jadi terpacu ikut segala kegiatan yang ada doi nya. Ya bahkan yang seharusnya ga ada doi di dalam acara kalian pun, kalian sebisa mungkin ngada-ngadain supaya doi bisa ikut dalam acara kalian tersebut. ahh

Pernah ga kalian merasa benciiiii banget sama sesuatu sehingga depresi dan ingin meluapkannya dengan menjerit, menangis, atau hal bodoh lainnya? Misalnya ketika kalian tiba-tiba diputusin sang pacar di suatu tempat lalu kalian pulang ke rumah dengan lari-lari sambil nangis di jalan-,- freak kan? Dan setelah sampe rumah kalian menyadari bahwa perjalanan dari TKP ke rumah sangat jauh dan kalian berhasil menempuhnya dalam waktu kurang lebih 3 jam.

Pernah ga kalian suka sama orang? Dan kalian sangat-sangat-sangat ingin menjadikannya pacar. Dan ketika kalian (syukur-syukur) pacaran sama si doi, apakah kalian pernah ngebayangin gimana rasanya sakit pas putus sama doi ga? Tentu saja ga kan? Kalian hanya memandang kebahagiaan yg akan kalian lalui bersama si doi? Kalian ga bener-bener mikirin kemungkinan-kemungkinan buruk yang sekiranya akan terjadi

Yap ketiga contoh tersebut, merupakan contoh dari dimensi rasa. Bisa disimpulkan kah dimensi rasa tersebut?

Dimensi rasa merupakan suatu dimensi dimana kondisi emosional kalian meletup-letup macam anak labil. Lebih melihat ke arah kebahagiaan yang kalian dapatkan, tanpa mempertimbangkan faktor-faktor lain di sekitar kalian. Ya intinya kalian lebih membiarkan napsu hati kalian menguasai diri kalian. Yak, bahasa to the pointnya sih: egois.

Beda dengan dimensi logika. Yak pada dimensi ini, kalian akan merasakannya setelah dimensi rasa. Dimana rasa menggebu-gebu kalian mulai menurun.

Contoh:
Dimensi rasa à kalian suka sama orang. Merasa “ih dia tuh cocok banget sama gue, dia blablabla, dan gue blablabla. Cocok banget lah. Mana asik pula orangnya, ngomongnya nyambung sama gue”. lalu pdkt lah kalian. Seiring berjalannya waktu, emosi suka sama dia meningkat-meningkat-dan meningkat hingga sampai puncaknya, kalian menyatakan perasaan kalian ke si doi. Dan voila kalian jadian!
Dimensi logika à Setelah jadian tiba-tiba kalian baru merasa melihat sisi lain dari si doi yang menyebalkan. Awalnya sih kalian (karena masih dalam dimensi rasa) biasa-biasa aja. Eh, lama-kelamaan you can’t stand it anymore dan rasa suka kalian yang awalnya menggebu itu terus menurun karena sisi lain doi yang menyebalkan. Sampai akhirnya kalian tersadar “dia ga cocok sama gue”

Sebenernya sih, dimensi logika ga selamanya akan muncul setelah dimensi rasa “terpenuhi”. Ingat, dimensi rasa hanyalah ego semata. untuk beberapa orang, ada yang mampu langsung mengendalikan dimensi rasa sehingga mengarah ke dimensi logika

Yak, contoh: ketika kalian mulai sadar kalian memiliki perasaan berlebih kepada lawan jenis. Coba dipikirkan lagi kalian suka apanya? Emang suka orangnya atau suka akan situasi yang ada? Kalian memang suka asli pure orangnya atau karena kondisi dimana si doi bisa bikin kalian ketawa lepas? Gue pantes ga ya buat dia? Gue udah siap belom ya? Dia bahagia ga ya sama gue? yak kira-kira begitulah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari dimensi logika. Ini ga lebay kok, Cuma ya lebih visioner mikirin masa depan lah ya…

Jadi ya sebenernya kedua dimensi ini ga bermasalah kok. Dua-duanya manusiawi kok. Manusiawi kok ketika kita sedang dalam dimensi rasa. Wajar ah. Bahkan ketika kita melakukan hal-hal yang gila demi doi. Gapapa itu wajar. Semua orang pernah labil kan ga bisa ngontrol perasaan mereka di dimensi rasa? Biarkanlah dimensi rasa dan dimensi logika berjalan beriringan. Biarkan saling tumbuh sesuai dengan porsinya masing-masing. Biarkan tumbuh alami

Segila-gilanya hal yg kalian lakuin ke doi harusnya ya seimbang sama hal yang udah kalian lakuin ke keluarga ya. Kalo buat si doi aja kalian all out, kenapa sama keluarga ga? Family should come first :D